Senin, 24 Desember 2012

Memetakan Kembali Kecerdasan Anak














Oleh : Rizal Dharma S., S.Pd.
follow : @rizal_dharma

Bapak dan ibu yang baik hatinya, mari kita tanyakan kepada anak kita bagaimana rasanya harus tahu soal-soal seperti dibawah ini …
Apa nama ibu kota Jambi ?....
Apa nama ibukota Lampung ?....
Apa nama ibukota Bengkulu ?....
Apa nama ibukota Papua ?....
Tanggal berapa Indonesia memperoleh kedaulatannya?....
terus tanyakan hingga anak kita memperoleh 50 pertanyaan kognitif tingkat rendah seperti diatas. Jawabannya Insya Allah mengerucut pada satu hal : IPS ITU SUSAH & MENYEBALKAN.

Atau sesekali berilah 50 soal seperti ini :
2 + 2 = ….
3 + 5 = ….
4 + 7 = ….
dan seterusnya. Jawabannya juga mungkin sama : MATEMATIKA ITU MEMBOSANKAN.

Mengapa ?
karena soal-soal diatas adalah soal kognitif tingkat rendah yang tak ada masalahnya. Padahal ada tiga keterampilan berpikir otak tingkat tinggi yang jarang dilatih kepada anak-anak kita disekolah dan dirumah, yaitu keterampilan berpikir tingkat kritis, keterampilan berpikir kreatif, dan berpikir memecahkan masalah. Coba bapak dan ibu bandingkan dengan soal dibawah ini :
-          Kenampakan buatan yang tidak mungkin dibangun di Kota Bogor adalah …..
-          Setelah membuka peta Sulawesi Barat, bencana yang tidak mungkin terjadi di wilayah tersebut adalah ….
-          Ali mempunyai uang 5.000. Jika harga pinsil 500 dan harga buku 1000, berapa banyak pinsil dan buku yang dibawa Ali ….
Soal diatas membutuhkan pemikiran kritis, siswa kemudian dipaksa berpikir kreatif, dan pada akhirnya akan mampu memcahkan masalah yang ada di soal. Dengan terbiasa menghadapi soal-soal seperti diatas diharapkan siswa mampu memecahkan setiap masalah yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Sebenarnya pemberian soal kognitif tingkat rendah bukanlah kesalahan. Namun, jika cara pemberiannya yang kurang tepat maka hanya akan menimbulkan masalah bagi anak. Bagaiman rasanya, jika bapak dan ibu minum obat dalam jumlah yang terlanjur banyak ? Tentu jadi masalah bukan.
Bayangkan bagaimana lelahnya otak anak bekerja. Disekolah ia mendapat 40 soal matematika, 40 soal IPS, 40 soal IPA, 40 soal PAI. Sore hari anak harus les dan mengerjakan puluhan soal lainnya. Malam hari dirumah bapak dan ibu memaksa anak untuk kembali belajar menghafal apa yang sudah ia pelajari disekolah. Maka apa yang akan terjadi ? Otak anak telah mendapat ancaman serius. Padahal menurut Dr. Paul Mac Lean dan Dr. Daniel Goleman, ketika otak telah mendapat acaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berfikir rasional akan mengecil, gejala inilah yang dalam dunia psikologi familiar disebut downshifting cognitive. Ancaman yang terjadi pada gejala ini tidak main-main. Akibat tekanan kognitif yang berlebihan, anak akan mengalami kejenuhan dalam belajar, kehilangan semangat belajar, mematikan respon anak, dan menurunkan kemampuan berfikir anak.

Mengharapkan anak untuk cerdas secara kognitif itu sah-sah saja. Bahkan sebuah keharusan. Akan tetapi menempatkan kecerdasan kognitif anak, terlebih kecerdasan kognitif tingkat rendah diatas segala-galanya akan menjadi boomerang bagi anak. Terlebih ada dua kecerdasan lain yang akan turut menentukan sukses si anak di kehidupan sebenarnya di masyarakat, yaitu kecerdasan dalam berperilaku (afektif) dan kecerdasan dalam menghasilkan suatu karya atau produk (psikomotorik).
Masih ingatkan bapak dan ibu tentang sebuah film yang berjudul lascar pelangi ? Ingat tokoh Kucai ? Hebat dalam pelajaran apa ia disekolah ? Tak ada. Ia hanya hebat dalam satu hal : memiliki kemampuan berperilaku paling kuat dibandingkan teman-temannya serta mampu menghasilkan komunikasi publik yang baik didepan teman-temannya. Itu sebabnya Sang Ibu Guru tak pernah rela melepaskan jabatan ketua kelas kepada siapapun termasuk kepada ketiga murid yang katanya paling pintar dikelas, Lintang, Mahar, dan Ikal. Jadi apa Kucai kini ? Ketua Komisi A DPRD Belitung Timur dari Partai Bulan Bintang.

Sekali lagi bapak dan ibu, cerdas secara kognitif adalah keharusan, tetapi bukanlah segala-galanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dream, Believe It, and Make It Happen