Rabu, 26 Desember 2012

Belajar dari Kemenangan Arsenal

Islamedia - Sepakbola Liga Inggris menjadi salah satu laga bergengsi di dunia. Berbagai pertandingan spektakuler ditunjukkan di sini. Sebagaimana, Rabu (31/10/2012) dinihari WIB, sekalipun saya bukan pendukung Arsenal, namun saya dan mungkin kita yang menyaksikan ini, dibuat berdecak kagum dengan pertandingan antara Arsenal vs Reading, di Madejski Stadium (kandang Reading).  Bagaimana tidak, Arsenal melakukan comeback brilian. Sempat tertinggal empat gol, The Gunners akhirnya menang lewat babak perpanjangan waktu dengan skor akhir 7-5 untuk maju ke perempatfinal.



Pada laga ini, ada beberapa hal menjadi catatan saya. Kemenangan ini bisa dipetik sebagai pelajaran untuk membangkitkan dakwah kala ini. Bukan sekadar pelajaran berjamaah tapi banyak hal, diantaranya:

Pertama, kemenangan membutuhkan optimisme. Andaikan Arsenal memiliki mental rendah maka mustahil meraih keberhasilan kala itu. Bayangkan saja, pada babak pertama mereka mengawalinya dengan sangat buruk. Saat laga baru memasuki 37 menit, Reading sudah membobol empat kali.

Mengejar ketertinggalan seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Apalagi Reading tampil agresif dan selalu menyerang di muka gawang. Namun demikian di masa injury time sebelum turun minum, Theo Walcott dari Arsenal berhasil membobol gawang kiper Adam Federici.

Arsenal baru mencetak gol lagi Di menit 89. Harapan untuk membuat dua gol benar-benar menjadi perjuangan mati-matian oleh Arsenal. Maka di masa injury tim, lagi dua gol disarangkan, skor pun 4 sama. Mulailah bauh kemenangan itu tercium.

Arsenal membalikkan keadaan! Tim tamu unggul 5-4 di menit 108. Namun  Reading belum kandas. Di menit 116,  Reading menyeimbangkan permainan setelah mencetak gol untuk menjadikan skor kini 5-5. Arsenal kembali memimpin 6-5 di menit 120. Dua menit kemudian di masa injury time, Chamakh memastikan kemenangan setelah menciptakan gol ketujuh Arsenal yang memanfaatkan kesalahan pemain belakang lawan.

Itulah mental juara, tidak terpuruk, saat kalah. Mereka tidak berputus asa, tidak lemah, tidak bersedih ketika fansnya meninggalkan stadion sepak bola. Da’i semestinya demikian, tak bersedih hanya karena kalah pilkada, hanya karena dianggap ditinggalkan simpatisan, atau karena ditinggalkan kader lainnya. Padahal bagi seorang da’i jika ia ingin ditinggikan derajatnya (kemenangan, red) adalah dia mesti tegar dan kuat.

“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran: 139)

Ayat ini turun kala Kaum Muslimin mengalami kekalahan dan penderitaan  yang cukup pahit pada perang Uhud. Di sini, Allah menghibur  kaum Muslimin agar tidak terdramatisasi oleh suasana. Kalah menang itu adalah biasa. Jika kita beriman, percaya dan yakin kepada Allah, suatu kali Allah pasti meninggikan derajat kita sesuai janjinya di atas. Bisa jadi derajat itu adalah kekuasan Islam yang kita perjuangkan, atau surga sekalipun kita belum melihat keberhasilan dakwah pada masa hidup kita.

Pelajaran kedua, gebrakan pemimpin. Susulan dua gol pada menit ke 89 menurut Pelatih Arsene Wenger, yang sudah aral melintang dalam persepak bolaan, adalah hal yang sangat menakutkan apabila dikejar sekalipun waktu sangat singkat. Katanya, "Saya tahu bagaimana rasanya setelah unggul 4-0 (kemudian terkejar), karena saya alami itu di Newcastle. Saat kedudukan 4-0, Anda merasa pasti menang, namun bila dikejar 4-2 kami mulai panik."

Namun Arsene Wenger benar-benar tahu bagaimana strategi memimpin saat mereka panik. Dilakukan berbagai serangan sampai pergantian pemain.

Beginilah dakwah, kita mesti punya kualitas penggebrak dari seorang pemimpin. Jika kita masih kalah, kita harus punya daya kritis, daya juang yang terus dipacu. Pada perang Yarmuk misalnya, sebulan lebih pasukan muslim r dan pasukan Romawi hanya bisa saling menunggu serangan. Kala itu, Muslim memiliki 27.000 tentara, sementara Romawi 240.000 tentara.

Mental Muslim ketika itu ciut. 240.000 adalah jumlah yang tak pernah dihadapi  Islam sebelum-sebelumnya. Sementara musuh lebih ciut lagi, kenapa? Karena pasukan Muslim adalah pasukan yang menggebrak. Bagaimana tidak, teringatlah semua track record kemenangan Islam sebelum-sebelumnya.

Muslim menambah pasukan dari Khalid bin Walid di Irak, dan saat itu genaplah jumlah tentara muslim 36.000. Tapi itu belum cukup. Khalid melihat ada kelemahan kepemimpinan. Maka digerakannya mental pasukan, ”Daripada Kalian sibuk menghitung jumlah musuh kalian, maka lebih baik sibuk menyembelih leher-leher mereka.”

Khalid Bin Walid juga meyakinkan bahwa dia adalah pemimpin pasukan. “Saya akan menjadi imam kalian dalam shalat subuh. Ketika saya bertakbiratul ihram, naiklah kalian ke atas kuda, takbir kedua, siap-siaplah, takbir ketiga mulailah menyerang.” Terpompalah semangat Muslim kala itu, dia menjadi ahli strategi.

Mungkin begini cara berpikir para pemenang Arsenal, daripada sibuk menghitung waktu atau mengingat gol lawan. Lebih baik sibuk menyerang dan menyarangkan bola ke gawang. Begini pula kita, daripada sibuk berpikir musuh kita terlalu kuat, kader kita mulai berkurang, simpatisan kita telah lari satu persatu, lebih baik kita menjadikan diri kita untuk lebih kuat—padahal kita lupa kader kita terus bertambah. Inilah yang dipacu oleh Arsene Wenger.

Ketiga, para pemenang selalu memanfaatkan waktu. Arsenal unggul di menit-menit dramatis, di menit 89, di injury time, di menit 108, menit 120 dan injury time lagi. Artinya selama masih ada waktu, selama itu pula kemenangan tetap berpeluang. Kalah dan menang ditentukan oleh peluit panjang.

Ini pula yang diajarkan dalam dakwah. Sebelum terompet kiamat menggelegar, dakwah masih akan berjalan. Jangan kira dakwah bergantung pada SDM saja, dakwah itu pada waktu. Manfaatkan setiap waktu yang ada. Kaidah dakwah, “umru dakwati, athwalu mina a’murina” umur dakwah lebih panjang dari umur kita semua. Teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan. Kalaupun darah kita habis, akan ada pengganti yang meneruskan dakwah ini hingga waktu dunia berakhir.

Keempat, munculnya ekspektasi yang kuat. Pada masa-masa genting Arsene Wenger mengganti beberapa pemainnya. Olivier Giroud dimasukkan di menit 62. Di menit 65 Giroud membuat gol.

Tentunya pengganti di situasi genting itu pasti memiliki ekspekstasi kuat dari penonton. Akhirnya dia harus memiliki ambisi membuat gol.

Begini pula kita. Bukan berarti raga kita tak harus diganti, tapi kita mesti merefresh dan sadar kita memiliki amanah yang besar: Muslim sedang tsiqoh pada kita untuk mengarungi dakwah ini. Kita adalah harapan besar mereka. Buat ekspektasi itu!

Dan terakhir, tidak takut dengan gertakan. Berada di kandang lawan mungkin menjadi beban tersendiri bagi tim tandang. Tekanan emosional dari penonton sangat-sangatlah berpengaruh. Apalagi bagi lawan pemilik kandang, merasa harus menang di hadapan publiknya. Namun bagi mereka yang telah berani, tak pernah takut dengan gertakan itu.

Begitulah para du’at. Kita diajarkan untuk berdoa, “Auzubika min ghalabati daini (Aku berlindung padamu dari gertakan orang-orang kuat!). Ada emosi yang mampu mereka atur, yaitu tak boleh menjadi pengecut. Pengecut itu adalah musuh dari diri seorang Muslim. Seorang pengecut sebagaimana dalam Alqur’an dalam surah Almunafiqun: “Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan itu ditujukan kepada mereka.”  Dan jika pemberani maka berdirilah segera, song-song kemenangan dengan takbir. Allahuakbar! 


Nanang Toranggaluku
sumber :
http://www.islamedia.web.id/2012/11/belajar-dari-kemenangan-arsenal.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dream, Believe It, and Make It Happen